Namaku Ariana
Adrian, putri kesayangan dari orang tuaku karena merupakan putri satu-satunya.
Tapi teman-temanku lebih sering memanggilku Ara, alasannya sih karena lebih
simple saja. Usiaku sudah 23 Tahun, dan aku seorang pengangguran. Tapi asal
tahu saja. Meskipun hanya bermain dan tidur menjadi rutinitasku sehari-hari,
orangtuaku sama sekali tidak pernah komplain. Aku sendiri juga bingung kenapa
mereka tidak gregetan melihat putri satu-satunya yang lulusan Sarjana
Pendidikan ini kerjanya Cuma tiduran dan main-main saja. Tapi keherannku
terjawab tidak lama kemudian.
Aku akan segera
menikah. Lebih tepatnya dinikahkan. Ternyata kedua orang tuaku begitu licik.
Mereka sudah menyiapkan semuanya sejak aku lulus SD. Menjodohkanku dengan
seorang pria yang 7 tahun lebih tua dariku. Awalnya aku menolak dengan
berbohong dan memelas. Tapi sepertiya mereka memang sudah memprediksi
penolakanku. Dan aku tidak bisa mengelak. Aku berfikir, kalau saja aku punya
pacar mungkin ceritanya sedikit berbeda. Tapi aku tidak punya pacar, dan aku
tidak pernah berniat pacaran. Aku memang pernah bilang pada orang tuaku. Aku
tidak mau pacaran. Aku ingin langung menikah saja jika jodohku sudah datang.
Dan mereka menggunakan alasan itu sebagai kartu as untuk membuatku setuju.
Dan ... akhirnya
aku setuju.
Hari ini hari
pernikahanku. Aku melihat sosok wanita cantik di hadapanku. Tampak lebih dewasa
dari biasanya. Ternyata sosok itu adalah aku sendiri. Semenjak subuh aku sudah
duduk manis dengan perasaan pasrah pada orang –orang yang mengotak –atik
wajahku. Memang sudah sewajarnya jika pengantin wanita harus berias diri
semaksimal mungkin. Apalagi aku dengar jika calon suamiku ini bukan orang
biasa. Mengingat usianya yang sudah kepala tiga pasti dia tidak mau jika calon
istrinya dirias seadanya, itu aka membuatnya malu. Apalagi jika ada yang tau
jika calon istrinya masih berusia 23 tahun. Bisa-bisa dikira pedofilia. Hehe...
Aku tersenyum
kecut.
Apa aku
bahagia? Entahlah. Aku tidak merasakan apapun. Entah itu terpaksa ataupun sedih
karena dipaksa menikah diusia sedini ini. Aku merasa biasa saja. Sama seperti
saat aku dirias menjadi pagar ayu saat tante Mira menikah dulu. Perasaan yang
sama seperti waktu itu. mungkin karena aku masih terlalu mudah untuk memikirkan
sebuah keluarga atau karena .. entahlah. Aku tidak mau memikirkan itu. aku
hanya ingin tampak cantik di hari pernikahanku.
Aku belum
pernah bertatap muka dengan calon suamiku ini. Aku hanya mengenalnya di
internet dan dari foto yang di berikan bunda. Saat melamarku pun calon suamiku
ini tidak bisa hadir. Katanya sih ada bisnis di luar negeri yang tidak bisa
ditinggalkan. Dia baru pulang 2 hari sebelum acara pernikahannya dan belum
sempat menemuiku karena disibukkan dengan tetek bengek pernikahan ini.
Jadi harap
maklum saja jika aku sedikit canggung saat melihat sosok nya secara langsung.
Kami duduk di hadapan pengulu. Aku tidak berani menatap wajahnya. Rasanya
hatiku berdebar sangat cepat. Mungkin wajahku sudah memerah seperti kepiting
rebus. Tapi laki-laki itu berbeda denganku. tampa canggung dia menyapaku. “
hai?” seraya memperbaiki krudung putih yang hampir jatuh dari kepalaku.
Mau tak mau aku
melihat wajahnya. Kesan pertamaku.... “ wah” hanya itu yang keluar dari
bibirku. Laki-laki bernama Evan itu tersenyum. Dan senyumnya membuatku semakin
kikuk. Selain wajahnya yang tampan , senyumnya juga sangat manis, hingga mampu
melelehkan hatiku dalam sedetik.
Aku mendengar
suara tawa bunda di belakangku. Dan suara ayah yang menyuruh bunda untuk diam.
Bunda pasti sedang menertawanku. Mengingat betapa keuh keuh nya aku menolak
perjodohan ini sebelumnya.
Buru-buru aku
menundukkan kepalaku saat penghulu mengucapkan salam. Entah apa saja yang aku
pikirkan tentang laki-laki ini sebelumnya. Laki-laki tua yang tidak bisa
mencari istri sendiri, atau lelaki tua yang dingin sampai tidak ada wanita yang
mau dekat dengannya. Semuanya hilang begitu saja, tergantikan dengan perasaan
berdebar yang luar biasa hingga aku tidak sadar jika ijab qobul telah selesai.
Dan laki-laki disampingku ini telah resmi menjadi suamiku.
Dia menatapku
lagi dan meraih tanganku yang sedikit bergetar karena nerves. Ayolah tadi aku
baik-baik saja. Ada apa denganku sekarang. Evan mengeluarkan sebuah cincin dari
kotak kecil yang aku tau adalah mahar untukku. Dan menyematkannya di jari manisku.
Dia kembali
menatapku hangat. Senyumnya kembali terukir di bibirnya. “ Nyonya Ariana Adrian
Li, istriku.. “ ucapnya lirih. Dan kemudian ia mendekatkan bibirnya ke
keningku, belum sempat hilang rasa berdebarku. Tiba-tiba saja Evan memindahkan
bibirnya ke bibirku dengan cepat. Dia menciumku. Menciumku di depan banyak
orang.
Aku tidak
sempat mendengar suara sorakan dan tepuk tangan dari para undangan. Karena Evan
tidak mengijinkanku untuk berfikir barang sedetikpun.
“ Sahhhh !!!” seru Bunda keras.
ooo