Senin, 11 Maret 2019


Namaku Ariana Adrian, putri kesayangan dari orang tuaku karena merupakan putri satu-satunya. Tapi teman-temanku lebih sering memanggilku Ara, alasannya sih karena lebih simple saja. Usiaku sudah 23 Tahun, dan aku seorang pengangguran. Tapi asal tahu saja. Meskipun hanya bermain dan tidur menjadi rutinitasku sehari-hari, orangtuaku sama sekali tidak pernah komplain. Aku sendiri juga bingung kenapa mereka tidak gregetan melihat putri satu-satunya yang lulusan Sarjana Pendidikan ini kerjanya Cuma tiduran dan main-main saja. Tapi keherannku terjawab tidak lama kemudian.

 Aku akan segera menikah. Lebih tepatnya dinikahkan. Ternyata kedua orang tuaku begitu licik. Mereka sudah menyiapkan semuanya sejak aku lulus SD. Menjodohkanku dengan seorang pria yang 7 tahun lebih tua dariku. Awalnya aku menolak dengan berbohong dan memelas. Tapi sepertiya mereka memang sudah memprediksi penolakanku. Dan aku tidak bisa mengelak. Aku berfikir, kalau saja aku punya pacar mungkin ceritanya sedikit berbeda. Tapi aku tidak punya pacar, dan aku tidak pernah berniat pacaran. Aku memang pernah bilang pada orang tuaku. Aku tidak mau pacaran. Aku ingin langung menikah saja jika jodohku sudah datang. Dan mereka menggunakan alasan itu sebagai kartu as untuk membuatku setuju.

Dan ... akhirnya aku setuju.

Hari ini hari pernikahanku. Aku melihat sosok wanita cantik di hadapanku. Tampak lebih dewasa dari biasanya. Ternyata sosok itu adalah aku sendiri. Semenjak subuh aku sudah duduk manis dengan perasaan pasrah pada orang –orang yang mengotak –atik wajahku. Memang sudah sewajarnya jika pengantin wanita harus berias diri semaksimal mungkin. Apalagi aku dengar jika calon suamiku ini bukan orang biasa. Mengingat usianya yang sudah kepala tiga pasti dia tidak mau jika calon istrinya dirias seadanya, itu aka membuatnya malu. Apalagi jika ada yang tau jika calon istrinya masih berusia 23 tahun. Bisa-bisa dikira pedofilia. Hehe...

Aku tersenyum kecut.

Apa aku bahagia? Entahlah. Aku tidak merasakan apapun. Entah itu terpaksa ataupun sedih karena dipaksa menikah diusia sedini ini. Aku merasa biasa saja. Sama seperti saat aku dirias menjadi pagar ayu saat tante Mira menikah dulu. Perasaan yang sama seperti waktu itu. mungkin karena aku masih terlalu mudah untuk memikirkan sebuah keluarga atau karena .. entahlah. Aku tidak mau memikirkan itu. aku hanya ingin tampak cantik di hari pernikahanku.
Aku belum pernah bertatap muka dengan calon suamiku ini. Aku hanya mengenalnya di internet dan dari foto yang di berikan bunda. Saat melamarku pun calon suamiku ini tidak bisa hadir. Katanya sih ada bisnis di luar negeri yang tidak bisa ditinggalkan. Dia baru pulang 2 hari sebelum acara pernikahannya dan belum sempat menemuiku karena disibukkan dengan tetek bengek pernikahan ini.

Jadi harap maklum saja jika aku sedikit canggung saat melihat sosok nya secara langsung. Kami duduk di hadapan pengulu. Aku tidak berani menatap wajahnya. Rasanya hatiku berdebar sangat cepat. Mungkin wajahku sudah memerah seperti kepiting rebus. Tapi laki-laki itu berbeda denganku. tampa canggung dia menyapaku. “ hai?” seraya memperbaiki krudung putih yang hampir jatuh dari kepalaku.

Mau tak mau aku melihat wajahnya. Kesan pertamaku.... “ wah” hanya itu yang keluar dari bibirku. Laki-laki bernama Evan itu tersenyum. Dan senyumnya membuatku semakin kikuk. Selain wajahnya yang tampan , senyumnya juga sangat manis, hingga mampu melelehkan hatiku dalam sedetik.

Aku mendengar suara tawa bunda di belakangku. Dan suara ayah yang menyuruh bunda untuk diam. Bunda pasti sedang menertawanku. Mengingat betapa keuh keuh nya aku menolak perjodohan ini sebelumnya.

Buru-buru aku menundukkan kepalaku saat penghulu mengucapkan salam. Entah apa saja yang aku pikirkan tentang laki-laki ini sebelumnya. Laki-laki tua yang tidak bisa mencari istri sendiri, atau lelaki tua yang dingin sampai tidak ada wanita yang mau dekat dengannya. Semuanya hilang begitu saja, tergantikan dengan perasaan berdebar yang luar biasa hingga aku tidak sadar jika ijab qobul telah selesai. Dan laki-laki disampingku ini telah resmi menjadi suamiku.

Dia menatapku lagi dan meraih tanganku yang sedikit bergetar karena nerves. Ayolah tadi aku baik-baik saja. Ada apa denganku sekarang. Evan mengeluarkan sebuah cincin dari kotak kecil yang aku tau adalah mahar untukku. Dan menyematkannya di jari manisku.

Dia kembali menatapku hangat. Senyumnya kembali terukir di bibirnya. “ Nyonya Ariana Adrian Li, istriku.. “ ucapnya lirih. Dan kemudian ia mendekatkan bibirnya ke keningku, belum sempat hilang rasa berdebarku. Tiba-tiba saja Evan memindahkan bibirnya ke bibirku dengan cepat. Dia menciumku. Menciumku di depan banyak orang.

Aku tidak sempat mendengar suara sorakan dan tepuk tangan dari para undangan. Karena Evan tidak mengijinkanku untuk berfikir barang sedetikpun.

“ Sahhhh !!!”  seru Bunda keras.
ooo
                             

0 komentar:

Posting Komentar